Apakah Bisa Melaporkan Balik atau Menuntut Orang yang Melapor ke Polisi?

Sumber foto: https://www.michigancriminallawyer-blog.com/files/2015/02/interrogation-room.jpg

Seseorang BISA melaporkan balik atau menuntut orang yang melapor ke Polisi apabila LAPORAN TERSEBUT DILAKUKAN DENGAN ITIKAD TIDAK BAIK. Namun apabila laporan tersebut dilakukan dengan itikad baik maka si pelapor atau orang yang melapor ke Polisi tersebut tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata.

Hal terebut sebagaimana yang diterangkan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 Jo. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU LPSK) yang menyatakan:

Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.

Lebih lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 158/PUU-XXI/2023 pada halaman 34 menyatakan pada pokoknya bahwa HAK PELAPORAN PIDANA TIDAK BISA DIBATASI.

“Bahwa terhadap makna ‘berhak’ untuk melaporkan peristiwa pidana tersebut bukan merupakan kewajiban hukum tetapi adalah pilihan bagi orang yang mengalami, melihat, menyaksikan, atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana sehingga dapat digunakan ataupun tidak digunakan karena tidak ada akibat hukum apapun yang akan dikenakan kepadanya jika tidak melakukan pelaporan suatu tindak pidana yang dialami, dilihat, disaksikan, ataupun menjadi korban. Pengaturan terkait hak yang diberikan secara jelas oleh UU 8/1981 terhadap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan, ataupun menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana tersebut merupakan bentuk pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagaimana dijamin dalam UUD 1945, sehingga pelaksanaannya tidak bisa dibatasi kecuali yang telah secara tegas diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Bahwa, apabila dikaitkan dengan permohonan Pemohon yang meminta pembatasan pelaksanaan hak dari siapa saja yang mengalami, melihat, menyaksikan dan/atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana untuk memberikan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan/atau penyidik baik secara lisan ataupun tulisan apabila terhadap peristiwa yang diduga adalah peristiwa pidana telah diterbitkan surat penghentian penyelidikan, sehingga menurut Pemohon hal tersebut tidak bisa dilaporkan balik. Tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon dan putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan Pemohon, menurut Mahkamah jika benar apa yang didalilkan Pemohon maka hal tersebut seyogianya menjadi perhatian dan kehatihatian bagi penyelidik atau penyidik untuk tidak dengan mudah mentersangkakan pelapor yang pelaporannya telah dihentikan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia bagi siapa saja yang mengalami, melihat, menyaksikan dan/atau menjadi korban peristiwa yang diduga merupakan tindak 35 pidana. Dalam hal penyidik atau penyelidik mengabaikan hal tersebut, dapat menyebabkan seseorang takut atau enggan melaporkan perihal adanya dugaan tindak pidana.”

Adapun terhadap pelapor yang tidak beritikad baik sebagaimana yang dimaksud dalam uraian di atas dapat dilaporkan dengan Pasal 220 dan/atau Pasal 317 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai berikut:

Pasal 220 KUHP:

Barang siapa memberitahukan atau mengadukan bahwa telah dilakukan suatu perbuatan pidana, padahal mengetahui bahwa itu tidak dilakukan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.

Pasal 317 KUHP:

  1. Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
  2. Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 – 3 dapat dijatuhkan.

Pelapor dapat dilaporkan dengan Pasal 220 KUHP atau Pasal 317 KUHP atas dasar pengaduan atau pemberitahuan palsu jika apa yang dilaporkan ke polisi tidak benar. Perbedaan dari kedua pasal tersebut adalah perbuatan dalam Pasal 317 KUHP dilakukan dengan maksud untuk menyerang kehormatan atau nama baik seseorang atau fitnah, sedangkan perbuatan dalam Pasal 220 KUHP ditujukan apabila pengaduan atau pemberitahuan palsu tersebut dilakukan tidak dengan maksud menyerang nama baik seseorang.

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 173) menjelaskan mengenai Pasal 220 KUHP bahwa isi pemberitahuan itu harus peristiwa pidana, jika bukan, tidak dapat dikenakan pasal ini. Jika ia memfitnah seorang telah melakukan peristiwa pidana dengan tujuan menyerang nama baiknya, sedang ia tahu bahwa tuduhan itu tidak benar (palsu), ia dikenakan Pasal 317 KUHP.

Lebih lanjut, R. Soesilo juga menjelaskan bahwa untuk dapat dipidana dengan Pasal 220 KUHP atau Pasal 317 KUHP harus ada unsur kesengajaan. R. Soesilo menjelaskan, bahwa jika pengaduan atau pemberitahuan “palsu” tersebut dilakukan dengan tidak sengaja, misalnya karena keliru atau karena tidak tahu lebih lanjut, tidak dapat dikenakan Pasal 220 atau Pasal 317 KUHP.

Artikel Hukum ini ditulis oleh Maruli Harahap – Ahli Hukum Indonesia. Bila anda ingin konsultasi mengenai permasalahan hukum, silakan hubungi WhatsApp: 0822-7365-6308.

Mungkin anda juga menyukai

Lainnya

Tinggalkan Balasan

Jasa Pembuatan Legal Opinion

Pasang Iklan