Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3/Yur/Mil/2018 hasil pemeriksaan urine terdakwa tindak pidana narkotika tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya alat bukti untuk menghukum terdakwa.
Dalam perkara narkotika, seringkali Terdakwa dihadapkan ke persidangan hanya dengan alat bukti berupa hasil pemeriksaan urine yang menyatakan bahwa urine Terdakwa positif mengandung narkotika. Hasil pemeriksaan ini menjadi persangkaan kuat bahwa Terdakwa telah menggunakan narkotika yang dilarang dalam Pasal 127 UU No. 35 Tahun 2009.
Sementara itu, Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan tanpa didasari oleh adanya 2 (dua) alat bukti yang sah ditambah dengan keyakinan Hakim. Dua alat bukti dan keyakinan Hakim tersebut harus menunjukkan bahwa benar Terdakwa adalah pelaku atas tindak pidana yang sedang didakwakan.
Oleh karena itu, alat bukti surat berupa hasil pemeriksaan urine apabila tidak didukung oleh bukti lainnya untuk menunjukan Terdakwa telah menggunakan narkotika, maka hasil pemeriksaan tersebut tidak dapat dapat dijadikan alat bukti dalam perkara in casu.
Pendapat tersebut sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3/Yur/Mil/2018 yang berbunyi:
“Bahwa keberatan Oditur Militer atas ketidakterbuktian dakwaan Oditur Militer in casu, tidak dapat dibenarkan karena tidak terdapat alat bukti yang cukup untuk dapat membuktikan kesalahan Terdakwa in casu. Di dalam persidangan tidak terdapat keterangan saksi dan keterangan Terdakwa yang menyatakan bahwa Terdakwa telah mengkonsumsi Narkotika. Satu-satunya alat bukti adalah alat bukti surat yaitu hanya Laporan Hasil Uji Laboratorium Nomor 03-1/LHU/LABKES/KP-Tx/IV/2016 tanggal 13 Mei 2016 yang dikeluarkan Laboratorium Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan yang menyatakan bahwa dalam urine Terdakwa mengandung Amphetamina dan Methapemanima yang terdaftar dalam Narkotika Golongan I Nomor Urut 53 lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, demikian pula sampel darah Terdakwa mengandung Amphetamina
Bahwa alat bukti surat tersebut merupakan alat bukti yang berdiri sendiri karena tidak didukung alat bukti lainnya. Dengan demikian, alat bukti surat tersebut tidak dapat dengan serta merta digunakan untuk menyimpulkan keterbuktian perbuatan yang didakwakan Oditur Militer in casu. In casu, tidak dapat ditentukan locus dan tempus delicti atas perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa in casu.”
Dengan demikian, maka dapatlah disimpulkan bahwa hasil pemeriksaan urine terdakwa tindak pidana narkotika tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya alat bukti untuk menghukum terdakwa.
Artikel Hukum ini ditulis oleh Maruli Harahap – Ahli Hukum Indonesia. Bila anda ingin konsultasi mengenai permasalahan hukum, silakan hubungi WhatsApp: 0822-7365-6308.